MUDHARABAH
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Mudharabah
Mudharabah berasal
dari kata dharb , berarti memukul
atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses
seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.[1]
Mudharabah
dapat didefinisikan sebagai bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak
berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk
dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana usaha , dengan tujuan untuk
mendapatkan untung.[2]
Atau
definisi lain, mudharabah adalah suatu perkongsian antara dua pihak
dimana pihak pertama (shahib al-mal) menyediakan seluruh
(100%) modal/dana, dan pihak kedua (mudharib)
bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan ratio laba
yang telah disepakati bersama secara advance. Sedangkan apabila rugi, kerugian
ditanggung oleh pemilik modal (shahib
al-mal) selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya
kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si
pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.[3]
Mudharib + Shahib al-Mal
(pelaksana usaha) (pemilik
modal)
Kontribusi kerja kontribusi
modal
Modal 0% Modal
100%
Kerja 100% Kerja
0%
|
Berserikat untuk mendapatkan laba $$$
B. Dasar
Hukum Mudharabah
Secara umum, landasan dasar syariah al-mudharabah lebih mencerminkan anjuran
untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits berikut ini
a. Al-Qur’an
: QS Al-Muzammil ayat 20 yang artinya
sebagai berikut:
“…dan
sebagian dari mereka orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah SWT....” (QS Al-Muzammil : 20)
Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari surah al-Muzammil: 20 adalah
adanya kata yadhribun yang sama
dengan akar kata mudharabah yang
berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
Dimana Entrepreneur adalah sebagaian dari orang-orang yang melakukan (dharb) perjalanan untuk mencari karunia
Allah SWT. dari keuntungan investasinya.
b. Al-Hadits
Hadits Rasul yang dapat dijadikan rujukan dasar akad
transaksi al-Mudharabah, adalah:
“Dari Suhaib
r.a. bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Tiga perkara di dalamnya terdapat
keberkatan (1) menjual dengan pembayaran secara kredit (2) Muqaradhah (nama
lain dari Mudharabah) (3) mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah
dan bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah)[4]
C. Rukun
Mudharabah
Faktor-faktor
yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah
adalah:
1. Pelaku
/ A’qidaian (dua orang yang berakad),
yaitu:
Pemilik modal (shahib
al-mal) maupun pelaksana usaha (mudharib
atau ‘amil)
2. Objek
mudharabah (Al-mal /modal/sejumlah dana yang dikelola)
3. Al-A’mal (usaha)
dari mudharib
4. Persetujuan
kedua belah pihak (ijab-qabul)
5. Nisbah
keuntungan , yaitu dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Prosentase.
Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah
pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal Rp tertentu. Jadi nisbah keuntungan
itu misalnya 50:50, 70:30, atau 60:40 atau bahkan 99:1, namun nisbah ini tidak
boleh 100:0, karena para ahli fiqih
sepakat berpendapat bahwa mudharabah
tidak sah apabila shahib al-mal dan mudarib membuat syarat agar keuntungan
hanya untuk salah satu pihak saja. Jadi nisbah keuntungan ditentukan
berdasarkan kesepakatan.
b. Bagi Untung dan
Bagi Rugi . Bila
laba bisnisnya besar , kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula. Bila laba
bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian yang kecil juga. Hal ini ditentukan
dengan nisbah laba dalam bentuk prosentase.
Bila bisnis dalam akad
mudharabah mengalami kerugian, pembagian kerugian itu bukan didasarkan atas
nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Dengan demikian
karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal, dan karena proporsi modal
(financial) shahib al-mal dalam
kontrak ini adalah 100%, maka kerugian (financial) ditanggung 100% pula oleh shahib al_mal. Di lain pihak, karena
proporsi modal (financial) mudharib
dalam kontrak ini adalah 0%, seandainya terjadi kerugian, mudharib akan menanggung kerugian (financial) sebesar 0% pula. Bila
bisnis rugi , sesungguhnya mudharib
akan menanggung kerugian hilangnya kerja, usaha,dan waktu yang telah ia
curahkan untuk menjalankan bisnis itu.[5]
c. Jaminan. Bila
kerugian bukan karena murni diakibatkan oleh risiko bisnis (business risk), melainkan diakibatkan
oleh karakter buruk mudharib (character risk), misalnya karena mudharib lalai dan/atau melanggar
persyaratan-persyaratan kontrak mudharabah , maka shahib al-mal tidak perlu menanggung kerugian. Jika mudharib
melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam merawat dan menjaga dana,
yaitu melakukan pelanggaran, kesalahan, dan kelewatan dalam perilakunya yang
tidak termasuk bisnis mudharabah yang
disepakati, atau ia keluar dari ketentuan yang disepakati, mudharib tersebut harus menanggung kerugian mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggung
jawabnya. Untuk menghindari adanya moral
hazard dari pihak mudharib yang
lalai atau menyalahi kontrak ini, maka shahib
al-mal dibolehkan meminta jaminan
tertentu kepada mudharib. Jaminan
akan disita oleh shahib al-mal jika
ternyata timbul kerugian karena mudharib melakukan
kesalahan, yakni lalai dan/atau ingkar janji. Jadi tujuan pengenaan
jaminan dalam akad mudharabah adalah untuk menghindari moral hazard mudharib,
bukan untuk “mengamankan” nilai investasi ketika terjadi kerugian karena faktor
risiko bisnis. Bila kerugian yang timbul disebabkan oleh faktor risiko bisnis, maka jaminan mudharib tidak dapat disita oleh shahib al-mal.[6]
D. Jenis-jenis
al-Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis : mudharabah muthlaqah, dan mudharabah
muqayyadah.
a. Mudharabah
Muthlaqah
Yang dimaksud dengan
transaksi mudharabah muthlaqah adalah
bentuk kerja sama antara shahibul maal dan
mudharib yang cakupannya sangat luas
dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan
ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah
sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat
besar.
b. Mudharabah
Muqayyadah
Mudharabah
muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah / specified mudharabah
adalah kebalikan dari mudharabah
muthlaqah. Si mudharib dibatasi
dengan batasan jenis usaha, waktu, atau
tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum
si shahibul maal dalam memasuki jenis
dunia usaha.[7]
E. Aplikasi
dalam Perbankan
Al-
mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk
pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada:
a. Tabungan
berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti
tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya; deposito biasa;
b. Deposito
spesial (special investment), di mana
dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi
pembiayaan, mudharabah diterapkan
untuk:
a. Pembiayaan
modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
b. Investasi
khusus, disebut juga mudharabah
muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul
maal.[8]
F. Berakhirnya
akad Mudharabah
Akad Mudharabah berakhir apabila:
1. Masing-masing
pihak menyatakan akad tersebut batal, atau pekerja dilarang bertindak hukum,
atau pemilik modal menarik modalnya.
2. Salah
seorang yang berakad gila.
3. Modal
habis di tangan pemilik, sebelum dikelola oleh pekerja
4. Salah
seorang yang berakad meninggal dunia.[9]
G. Manfaat
al-Mudharabah
a. Manfaat
al-Mudharabah
1. Bank
akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah
meningkat.
2. Bank
tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap,
tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan
pernah mengalami negative spread.
3. Pengembalian
pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash
flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
4. Bank
akan lebih selektif dan hati-hati (prudent)
mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan
yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5. Prinsip
bagi hasil dalam al-mudharabah
/al-musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan
menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun
keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad
Rawas Qal’aji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha (Beriut:
Darun-Nafs, 1985).
Adiwarman
A. Karim, Bank Islam, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2004.
Muhammmad,
Sistem dan Prosedur Operasional Bank
Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000
[1]
Muhammad Rawas Qal’aji, Mu’jam Lughat
al-Fuqaha (Beriut: Darun-Nafs, 1985).
[2]
Adiwarman A. Karim, Bank Islam, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.204.
[3]
Muhammmad, Sistem dan Prosedur
Operasional Bank Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hal.14.
[4] Ibid
[5]Adiwarman
A. Karim, Op.cit , hal.207.
[6] Ibid hal.209.
[7]
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah
dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, hal.97.
[8] Ibid
[9] M.
Yazid Afandi, Fiqih Muamalah, Logung
Printika, Yogyakarta, 2009, hal.110.
[10]
Muhammad Syafi’I Antonio, Op.cit hal.97
Comments